PMII Desak Polri Copot Kapolres Bima Usai Enam Aktivis Ditetapkan Jadi Tersangka Pengrusakan Dalam Demo PPS
Bima, NARASIMEDIA.NET –
Ketua Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Mataram, Edi Irawan Saputra, mengecam langkah Kepolisian Resor Kabupaten Bima yang menetapkan enam aktivis mahasiswa sebagai tersangka usai aksi demonstrasi menuntut percepatan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Pulau Sumbawa (PPS).
Menurut Edi, penetapan status tersangka terhadap para aktivis yang tergabung dalam kelompok Cipayung Plus tersebut mencerminkan sikap yang antikritik dan mengabaikan semangat demokrasi.
“Kami mengecam keras tindakan Kapolres Kabupaten Bima yang menetapkan enam aktivis Cipayung sebagai tersangka. Mereka sedang menyuarakan aspirasi rakyat, bukan melakukan tindakan kriminal. Mereka adalah pemuda intelektual yang berkontribusi besar terhadap kemajuan demokrasi,” kata Edi dalam keterangannya, Jumat (30/5/2025).
Aksi demonstrasi yang digelar pada Rabu, 28 Mei 2025 di wilayah Kabupaten Bima, sempat diwarnai kericuhan. Salah satu insiden yang terjadi adalah pengrusakan terhadap mobil dinas milik Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Bima. Pasca kejadian tersebut, enam mahasiswa ditetapkan sebagai tersangka. Mereka terdiri atas tiga kader PMII, dua dari HMI, dan satu dari IMM.
Edi menegaskan, demonstrasi merupakan hak konstitusional yang dilindungi oleh Pasal 28 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
“Kami meminta Kapolda NTB untuk segera mengevaluasi dan mencopot Kapolres Kabupaten Bima. Tindakan represif terhadap mahasiswa hanya akan mencederai demokrasi. Polisi seharusnya menjadi pengayom, bukan justru menekan nalar kritis kaum muda,” ujarnya.
Ia juga meminta agar proses hukum terhadap para aktivis dijalankan secara terbuka, objektif, dan bebas dari diskriminasi.
Sementara itu, pihak kepolisian memberikan klarifikasi terkait penetapan tersangka. Kasatreskrim Polres Bima, AKP Abdul Malik menyatakan bahwa aksi demonstrasi memang dijamin oleh undang-undang, namun tindakan pengrusakan terhadap fasilitas umum atau milik negara tidak dapat dibenarkan.
“Tidak ada masalah dengan aksi demo. Kami siap mengawal sekalipun dilakukan berhari-hari, asal tidak anarkis. Tapi ketika ada mobil dinas dirusak, itu menjadi persoalan hukum. Masyarakat yang sedang melintas biasa, apa korelasinya dengan tuntutan demonstrasi sehingga mobilnya dirusak?” ujarnya.
Ia menambahkan, penegakan hukum dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab untuk menjaga ketertiban umum. “Kita semua harus berpikir jernih. Seandainya yang dirusak itu mobil keluarga kita sendiri, tentu kita tidak akan tinggal diam. Aksi boleh, tapi jangan sampai merugikan pihak lain,” pungkasnya.
Ia juga menekankan bahwa proses hukum dilakukan berdasarkan laporan masyarakat, bukan inisiatif sepihak dari kepolisian. “Kami tidak memproses perkara tanpa adanya laporan. Jadi saya rasa ada kesalahpahaman di sini,” pungkasnya. (Red)